Sabtu, 26 Maret 2011

Menyusun Skala Prioritas Kerja

Menyusun Skala Prioritas Kerja
Tuesday, 11/01/2011 06:05 WIB | email | print

Kelemahan lain gerakan dakwah ialah dalam menyusun skala prioritas kerja. Jika kita bertanya pada diri kita : Apakah kita mengerjakan tugas dengan cara yang terbaik, ataukah kita memilih tugas paling urgent untuk dilaksanakan?

Pertanyaan pertama menggambarkan kapabalitas dalam bekerja. Sedangkan pertanyaan kedua adalah mencerminkan pemilihan prioritas kerja yang benar sejak dari awal. Antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Namun, keduanya sama pentingnya.

Boleh jadi seseorang melakukan pekerjaanya dengan sangat profesional, namun apa yang dikerjakannya itu secondary matter (hal yang kedua, tidak yang utama).

Sesungguhnya untuk menyusun skala prioritas kerja adalah hal yang harus didahulukan/dirancang sejak awal, karena tugas dan pekerjaan dakwah itu jauh lebih banyak dari ketersediaan SDM yang kapabel melakukannya. Maka menentukan skala prioritas kerja adalah hal yang amat urgent. Dengan demikian, mobilisasi potensi SDM dan pendanaan akan terarah kepada masalah-masalah yang tepat.

Sesungguhnya kebutuhan terhadap kemampuan menyusun skala prioritas kerja semakin amat terasa bersamaan dengan perjalanan waktu yang semakin cepat dan berbagai peristiwa yang semakin bermunculan. Sebab itu, tidak cukup bila insan dakwah hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang wajib dan penting. Akan tetapi, terlebih dahulu harus menunaikan yang lebih penting (first think first). (Dan masalah ini hanya akan terlaksana, jika memiliki kemampuan perencanaan yang baik dan matang)

BERHENTI MENGAJARI ALLAH

Dalam sebuah atsar diriwayatkan oleh Wahb bin Munabbih disebutkan bahwa Allah berfirman: “Hamba-Ku! Taati sajalah apa yang sudah Aku perintahkan kepadamu, dan jangan (sekali-kali) mengajari-Ku terhadap apa saja yang baik untukmu.”

Bagi seorang mukmin sejati yang memiliki ketajaman nurani, tentulah terhindar dari sikap “lancang” dengan mengajari Allah terhadap segala hal yang baik untuknya. Karena memang manusia manapun di dunia ini tidak akan pernah tahu rencana dan skenario Allah ketika Dia menimpakan segala musibah dan masalah kepada hamba-Nya.

Rasanya sudah terlalu sering kita mengajari Allah bahkan terkadang harus menyalahkan-Nya saat harapan-harapan dan cita-cita kita yang kita nantikan dan tunggu tidak kunjung datang atau malah hanya kegagalan yang kita raih. Prasangka-prasangka buruk terhadap Allah melintas di fikiran kita tanpa bisa kita cegah, karena kebodohan dan kelemahan kita dalam memahami hakikat keberadaan kita di dunia ini.

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 216: “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”

Banyak hal di dunia ini yang berada diluar kekuasaan kita, dan kita tidak pernah mampu menghindar dan menolaknya. Hal yang demikian karena memang kita diciptakan hanya untuk tunduk dan patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Saat manusia menderita dengan rezeki yang serba kekurangan (menurutnya) seharusnya bersyukur karena Allah sedang membimbingnya agar selalu menggantungkan harapan dan memohon kepada-Nya. Saat seseorang nestapa karena kehilangan apa saja yang dicintainya selayaknya berbahagia karena pada saat yang sama Allah sedang menuntunnya agar tidak mencintai apapun melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Selama paru-paru ini masih bernafas, jantung ini masih berdetak, darah ini masih mengalir, manusia tidak akan pernah terlepas dari deraan cobaan dan ujian. Karena memang dunia diciptakan sebagai tempat ujian dan akhirat sebagai tempat balasan. Kesenangan sejati hanya akan diraih jika kita sudah menginjakkan kaki di surga. Jika memang dunia ini diciptakan untuk tempat bersenang-senang, maka para nabi seharusnya yang paling berhak mendapatkannya. Lantas, kenapa malah merekalah yang paling banyak dan sering mendapatkan rentetan cobaan dan cabaran.

Semoga sebuah hadits ini akan membuat kita sadar, bersimpuh dan tertunduk malu dihadapan-Nya dan berhenti mengajari-Nya atau menyalahkan ketentuan-Nya saat doa-doa belum terpenuhi dan harapan-harapan yang gagal diraih. Karena memang tidak ada kebetulan dalam kehidupan ini. Sebuah hadits yang riwayatkan oleh imam al-Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Malaikat Jibril AS berkata: Wahai Allah, hamba-Mu si fulan penuhilah segala keperluan (yang diminta)nya. Allah pun menjawab: (sudah) biarkan saja hamba-Ku (itu), Sungguh Aku senang mendengar suaranya (saat bermunajat kepada-Ku).

Semoga kita termasuk hamba yang mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya. Amin!
Wallahu a’la wa a’lam.