Minggu, 02 Juni 2013

Taujih Nabawi Untuk Aktivis Dakwah

Maksud ‘kader’ di sini adalah siapa saja yang masih mengikuti proses tarbiyah secara intens di berbagai jenjangnya, apa pun jabatan mereka di jamaah dan hizb, atau yang tidak menjadi apa-apa. Ada pun bagi yang tidak masuk kategori ini, namun ikut bermain api di dalamnya, dan ikut memperkeruh suasana dan memprovokasi, maka kami ingatkan untuk para kader terhadap tipuan mereka:
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu.” (Al-Imran: 119)
Ya, jika mereka berdiskusi dengan kita, berhadapan dengan kita, mereka menyatakan bahwa “Kami adalah kader tarbiyah,” tetapi perilaku mereka bak menyiram bensin di kobaran api yang kecil. Sehingga, perselisihan kecil, nasihat biasa, dijadikannya sebagai pisau pembunuh keutuhan jamaah hingga permasalahan melebar ke mana-mana. Untuk mereka ini, para outsider yang ikut bersandiwara di dalam wacana dan dialektika jamaah, maka cukuplah bagi kalian:
“Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (Ali Imran: 119)
Sebaliknya, untuk para kader tarbiyah, diam adalah lebih baik jika belum tahu permasalahan. Tidak terpancing emosi, bersikap, dan komentar yang melebihi kapasitasnya. Tidak termakan berita bohong, atau justru menjadi penyebar berita bohong. Teruslah menuntut ilmu, berdakwah, dan beramal.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36)
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.” (An-Nur: 11)
Berikut adalah Taujih Nabawi yang bertebaran di berbagai kitab hadits untuk para kader. Kami akan sampaikan beberapa saja, di antaranya:
A. Tetaplah Taat Selama Perintah Bukan Maksiat
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah mentaatiku. Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika rakyatnya diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah dengan ketaqwaan kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika dia mengatakan selain itu, maka dosanya adalah untuknya.” (HR. Bukhari, 10/114/2737. Muslim, 9/364/3417. An Nasa’i, 13/95/4122. Ibnu Majah, 8/393/2850. Ahmad, 15/166/7125)
Hadits ini tidak syak lagi, berbicara tentang keutamaan pemimpin yang tidak dimiliki oleh selainnya. Ketaatan kepada mereka dan pembangkangan kepada mereka seakan disetarakan dengan ketaatan dan pembangkangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam konteks jamaah dakwah, maka para qiyadah adalah pemimpin kita.
Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya (baca: kader)? Al-Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah pemimpin yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) diperintahkan agar memerintah dengan syariat-Nya. (Fathul Bari, 20/152)
Jadi, patokannya adalah syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya, dan syariat yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka dalam timbangan syariah. Namun, sebagian ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik, adapun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di atas.
Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, maka semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Muslim, 9/371/3424. Abu Daud, 7/210/2256. An-Nasa’i, 13/114/4134. Ahmad, 2/192/686. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 8/156. Sementara Bukhari meriwayatkan tanpa lafaz Laa Tha’ata fi Ma’shiyatillah, 13/237/3995)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari, 22/52/6611. Abu Daud, 7/211/2257. At Tirmidzi, 6/300/1929. Ahmad, 9/475/4439. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 3/127)
Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik perintah itu datangnya dari pemimpin yang adil atau zhalim terhadap rakyatnya, suami ke pada istrinya, orang tua kepada anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.
Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat kepada pemimpin yang fasiq dan zhalim, namun belum kafir. Ini dilihat dari sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content) yang diperintahkan.
Kebanyakan Ahli hadits mengatakan, tetap wajib taat kepada pemimpin yang zhalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka, selama mereka masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan yang mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan selama perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezhaliman pemimpin, maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan Al-Bashri.
Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)
Imam Ar-Razi mengatakan, taat kepada Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezhaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)
Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:
إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان
“Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari, 21/444/6532. Muslim, 9/374/3427)
Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
 يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya lagi: “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab: “Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Dengarkan dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” (HR. Muslim, 9/387/3435. Al-Baihaqi. As-Sunan Al-Kubra, 8/157. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Ausath, 6/459/3003. Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah tidakkah kami melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim, 9/403/3447. Ahmad, 49/11/22856. Al-Baihaqi, As Sunan Al-Kubra, 8/158. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 12/431. Ad-Darimi, 9/19/2853. Ibnu Hibban, 19/182/4672. Al-Maktabah Asy Syamilah)
Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar dari ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezhaliman dan kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Syarh Shahih Muslim, 6/327)
Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al Jihad Maadhin ‘Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud, beliau membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang zhalim (Fil Ghazwi ma’a A’immati Al-Jauri). Sehingga Imam Ahmad menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan antara berjihad bersama pemimpin yang adil atau zhalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap akan didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan, tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang adil, atau pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus Sunnah, 2/640)
Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan kebolehan berimam kepada orang zhalim dan fasiq, karena dahulu para sahabat, di antaranya Ibnu Umar pernah berimam kepada penguasa zhalim, gubernur Madinah, Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin Zubeir) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al-Khudri shalat di belakang khalifah Marwan. Imam An Nasa’i membuat Bab dalam kitab Sunan-nya, Shalat Bersama Imam zhalim (Ash-Shalatu Ma’a A’immatil Jauri).
Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan taat kepada pemimpin fasiq dan zhalim, selama mereka masih muslim, dan isi perintahnya adalah bukan maksiat.
Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya menyatakan tidak wajib taat kepada pemimpin yang zhalim dan fasiq, karena kefasikan dan kezhalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi perintahnya saja yang berisi maksiat.
Dalilnya adalah:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampaui batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Asy-Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (Al-Kahfi: 28)
Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al-Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)[1]
Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas kebenaran (baik karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak ada kewajiban taat kepadanya. Imam Al-Baidhawi tidak membicarakan tentang isi perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada khalifah, tetapi juga pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.
Bahkan Imam Abul Hasan Al-Mawardi mengatakan, bahwa umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang hilang ke’adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28). Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Hazm, dan Imam Al-Ghazali.
Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al-Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al-Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)
Sebaliknya, Imam Ibnu Taimiyah menganjurkan untuk sabar, tidak memberontak menghadapi ‘musibah’ pemimpin yang zhalim (Majmu’ Fatawa, 1/262)
Akhirnya …, setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zhalim, nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan serta chaos berkepanjangan, walau keputusan dan perilaku sebagian qiyadah sangat ‘menggeramkan’ dan ‘menjengkelkan’ menurut sebagian kader, yang penting kader tidak diperintah untuk maksiat yang nyata, dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Taala. Dan wajh istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan legitimate.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dibencinya, maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhari, 21/443/6531. Muslim, 9/390/3438. Ahmad, 5/389/2357. Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 10/305/12590. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 16/46/7239. Ad-Darimi, 8/6/2574. Abu Ya’la, 5/402/2293)
Dari hadits ini, tentu kami tidak mengatakan ‘jahiliyah’ orang yang keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam keseluruhan). Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya agar bersabar menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman, atau keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa kader hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini lebih bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena didasari oleh dalil dan pandangan para ulama, bukan karena emosi.
Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah) dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Syarah Shahih Muslim, 6/322/3436)
Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)
Ada pun surat Al-Kahfi ayat 28: “Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami.” Tidak bisa dijadikan hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 5/154). Apakah ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata? (misal, karena iklan Soekarno, “Aku adalah budak rakyatku,” yang membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka memiliki lembaran mutaba’ah harian? Maka, bagi (kader) yang menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih mendahulukan zhan.
Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan, kezhaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati menurut sebagian ulama? Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan lebih dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad politik saja? Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan kezhaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang sebagaimana uraian panjang di atas. Jika tidak benar, maka lebih tidak ada alasan lagi untuk membangkang. Namun, seharusnya qiyadah pun harus memberikan penjelasan, tanpa ada yang disembunyikan, tentang berbagai masalah yang digugat oleh kader. Wallahu A’lam
Ketahuilah dan fahamilah …, betapa pun keras kritikan kalian (kader) terhadap qiyadah, maka qiyadah bukanlah syaitan yang selalu berbuat salah dan selalu mengajak pada kesalahan. Sebagaimana kalian pun bukanlah malaikat yang selalu benar tanpa kesalahan.
B. Meninggalkan Perdebatan Yang Tidak Berguna
Tanpa disadari, sebagian kader terlena dalam perdebatan panjang dan sengit, dan mengabaikan akhlak Islam, namun tidak produktif dan justru mengotorkan hati.
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat hal yang barangsiapa keempat hal itu ada pada diri seseorang maka dia adalah munafik sejati, dan barangsiapa yang memiliki satu saja, maka dia memiliki perangai kemunafikan sampai dia meninggalkannya, yaitu: jika diberi amanah dia khianat, jika bicara dia berbohong, jika berjanji dia melanggar, dan jika berbantahan buruk akhlaknya.” (HR. Bukhari, 1/59/33. Muslim, 1/190/88. Abu Daud, 12/298/4068. At Tirmidzi, 9/222/2556. An Nasa’i, 15/219/4934. Ibnu Hibban, 1/497/254)
Maka, hendaknya kader dakwah meninggalkan perdebatan sengit yang memancing emosi dan melunturkan akhlak, sebab ditakutkan tumbuhnya bibit kemunafikan dalam hati kita, paling tidak perbuatan persebut menyerupai orang munafiq sebagaimana yang dijelaskan para ulama.
Imam An Nawawi memberikan penjelasan, bahwa para ulama telah ijma’ barang siapa yang sudah beriman di hati dan diucapkan dengan lisan, lalu dia melakukan hal-hal yang ada dalam hadits ini, maka mereka tidaklah dihukumi kafir dan tidak pula dihukumi munafiq yang membuatnya kekal di neraka, sebab saudara-saudara Nabi Yusuf ‘Alaihissalam telah melakukan semua perilaku ini. Demikian juga ditemukan bagi sebagian salaf dan ulama, baik sebagian atau seluruhnya. Hadits ini, segala puji bagi Allah, tidak ada kemusykilan, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam memaknainya. Pendapat para muhaqqiq yang mayoritas, dan menjadi pendapat pilihan yang benar adalah perangai-perangai ini adalah perangai munafiq, bagi pelakunya dia telah menyerupai orang munafiq dan berakhlak dengan akhlak mereka (kaum munafiq). Ada pun nifaq, adalah menampakkan apa-apa yang dihatinya berbeda. Pengertian ini memang ada pada orang-orang yang melakukan perangai tersebut, yang menjadikannya nifaq secara hak dalam dirinya, berupa pembicaraannya, janjinya, amanahnya, atau berbantahannya. Tetapi ini bukanlah munafiq yang zhahirnya menampakkan Islam dan hatinya kufur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah bermaksud munafiq di sini adalah munafiq yang membuat pelakunya adalah kafir dan kekal di neraka paling bawah. (Syarh Shahih Muslim, 1/150/88. Lihat pula keterangan lebih ringkas di ‘Aunul Ma’bud, 10/207)
Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama mengartikan nifaq pada hadits ini adalah nifaq amal (nifak perbuatannya), bukan nifaq takdzib (nifaq karena sikap mendustakan dihatinya) sebagaimana pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikianlah yang diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa nifaq ada dua, yakni nifaq amal dan nifaq takdzib. (Sunan At Tirmidzi, 9/222). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa nifaq di sini adalah bahwa pelakunya dihukum seperti munafiq, yakni nifaq amal. (Fathul Bari, 1/54)
Kita pun diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa SallamI bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. At Tirmidzi,8/294/ 2239. Malik, 5/381/1402, dari Ali bin Husein bin Ali bin Ab Thalib. Ibnu Majah, 11/ 472/3966. Ahmad, 4/168/1646, dari Ali bin Abi Thalib. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Misykah Al-Mashabih, 3/49/4839)
Imam Hasan Al-Banna juga mengatakan dalam 10 wasiatnya, pada wasiat no. 4: “Tinggalkanlah perdebatan dalam masalah dan kondisi apapun, karena perdebatan tidaklah mendatangkan kebaikan.” (Risalatut Ta’alim wal Usar, Hal. 39. Darun Nashr Liththiba’ah Al-Islamiyah)
C. Tetap Menjaga Persatuan dan Soliditas
Tanpa adanya persatuan dan soliditas, maka kelemahan yang akan kita dapatkan. Sayangnya kelemahan jamaah terjadi karena ulah kita sendiri.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Maka beranilah memulai untuk memahami, memaklumi, dan memaafkan sesama ikhwah sebagai awal soliditas jamaah, berada di pihak mana pun kita. Serta menghilangkan kebencian, dengki (hasad), tajassus, memutuskan silaturahim, cuek, memboikot (hajr), sesama elemen jamaah.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Hati-hatilah dengan prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. Janganlah saling mendengarkan keburukan, saling mencari kesalahan, saling mendengki , saling tidak peduli, saling membenci, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, 19/8/5604)
Hadits serupa sangat banyak, hanya saja berbeda sedikit matan(redaksi)-nya . Ada yang wa laa tanaajasyu (jangan saling memfitnah) (Bukhari, 19/11/5606), atau wa laa taqaatha’uu (jangan saling memutuskan silaturahim) (Muslim, 12/415/4642), atau wa laa tanaafasuu (jangan saling bersaing/bermegah-megah) (Muslim, 12/421/4646), ada juga tambahan, “tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya leih tiga hari.” (HR. At-Tirmidzi, 7/180/1858, dari jalur Anas, hasan shahih), dan yang semisalnya.
Syahidul Islam, Imam Hasan Al-Banna Rahimahullah berkata:
أن ترتبط القلوب والأرواح برباط العقيدة ، والعقيدة أوثق الروابط وأغلاها ، والأخوة أخت الإيمان ، والتفرق أخو الكفر ، وأول القوة : قوة الوحدة ، ولا وحدة بغير حب , وأقل الحب: سلامة الصدر , وأعلاه : مرتبة الإيثار , (وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) (الحشر:9) .
والأخ الصادق يرى إخوانه أولى بنفسه من نفسه ، لأنه إن لم يكن بهم ، فلن يكون بغيرهم ، وهم إن لم يكونوا به كانوا بغيره , (وإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية) , (والمؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضاً). (وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ) (التوبة:71) , وهكذا يجب أن نكون
 “Ukhuwah adalah keterikatan hari dan ruh dengan ikatan aqidah. Ikatan aqidah adalah ikatan yang paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah adalah saudara keimanan, dan perpecahan adalah saudara kekufuran; kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan, tak ada persatuan tanpa rasa cinta, dan sekecil-kecilnya cinta adalah lapang dada, dan yang paling tinggi adalah itsar (mendahulukan kepentingan saudara).” Barangsiapa Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat bakhilnya, maka merekalah orang-orang yang berjaya.(Al-Hasyr: 9)
Akh yang benar akan melihat saudara-saudaranya yang lain lebih utama dari dirinya sendiri, karena ia jika tidak bersama mereka, tidak akan dapat bersama yang lain. Sementara mereka jika tidak bersama dirinya, akan bisa bersama orang lain. Dan sesungguhnya Srigala hanya akan memangsa kambing yang sendirian. Seorang muslim dengan muslim lainnya laksana satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.
Dan orang-orang beriman baik laki-laki dan perempuan, satu sama lain tolong-menolong di antara mereka. (At-Taubah: 71). Begitulah seharus kita.” (Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, Majmu’ah ar-Rasail, hal. 313. Al-Maktabah At-Taufiqiyah). Wallahu a’lam

[1] Apa yang dikatakan Imam Al-Baidhawi juga bantahan bagi pihak yang membatasi makna Ulil Amri hanyalah pemimpin negara (umara) dan khalifah. Mereka menolak jika surat An- Nisa: 59 ini dijadikan dalil ketaatan kepada qiyadah dakwah. Cukuplah apa yang dikatakan Imam Al-Baidhawi ini untuk mereka. Pembatasan makna Ulil Amri seperti yang mereka katakan jelas kecerobohannya. Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al-Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama. (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 2/345. Darut Thayyibah Lit Tauzi’ wan Nasyr)

Jumat, 22 Maret 2013

"AKHWAT SEJATI DAN IKHWAH SEJATI"

AKHWAT SEJATI
Seorang gadis kecil bertanya pada ayahnya, “Abi ceritakan padaku tentang akhwat sejati?”
Sang ayah pun menoleh sambil kemudian tersenyum.
Anakku…

Seorang akhwat sejati bukanlah dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada di baliknya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu banyaknya kebaikan yang ia berikan tetapi dari, keikhlasan ia memberikan kebaikan itu.
Akhwat sejati bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.
Akhwat sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara.
Sang ayah diam sejenak sembari melihat ke arah putrinya.“Lantas apa lagi Abi?” sahut putrinya.
Ketahuilah putriku…
Akhwat sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan, tetapi dilihat dari kekhawatiran dirinyalah yang mengundang orang jadi tergoda.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa syukur.
Dan ingatlah…
Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauhmana ia bisa menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul.Setelah itu sang anak kembali bertanya,
“Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu, Abi?” Sang ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, “Pelajarilah mereka!”
Sang anakpun mengambil buku itu dan terlihatlah sebuah tulisan “Istri Rasulullah”.


IKHWAN SEJATI
Seorang remaja pria bertanya pada ibunya, ”Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati!”

Sang Ibu tersenyum dan menjawab…
Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati di tempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya.
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan.
Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca.
Setelah itu, sang remaja pria kembali bertanya. Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?
Sang Ibu memberinya buku dan berkata…
Pelajari tentang dia. Ia pun mengambil buku itu, MUHAMMAD, judul buku yang tertulis di buku itu.

sumber: http://dinaryuliati.blogspot.com/2010/08/akhwat-dan-ikhwan-sejati.html

"CINTA REMAJA"

Assalamualaykum :) 


Apa yang terlintas di pikiran pembaca setelah mendengar kata "Cinta"? Mungkin ada yang langsung berfikir tentang lawan jenisnya yang sedang disukai? Atau mungkin langsung terlintas fikiran tentang Allah? Atau orang tua? hehe, yaa, di posting kali ini kami akan membahas tentang Cinta.
Hayooo, apa yang kalian tahu tentang Cinta? Mungkin ada yang menjawab : cinta itu.. C.I.N.T.A (?) #abaikan haha. Jadi, sebenernya cinta itu..
Cinta adalah satu kata yang sangat erat dengan dunia remaja. Rasanya aneh kalau anak remaja tak kenal dengan namanya cinta. Biasanya pada usia remaja orang akan dengan mudah membuat puisi−puisi cinta yang begitu indah yang ditulis dengan penuh penghayatan. Atau mendadak jadi seorang yang sangat puitis haha, pokonya di usia remaja benih−benih cinta mudah tumbuh dan berkembang dengan subur.
Bagi remaja muslim yang cerdas benih−benih cinta ini akan dikemas menjadi sesuatu yang bersih, suci dan tidak dinodai yaitu dengan memperhatikan rambu−rambu yang sesuai dengan aturan islam.
Sebagai agama yang fitrah islam mengatur segala aspek kehidupan termasuk dalam urusan cinta remaja. Dalam hal ini setiap remaja harus mensyukuri rasa cinta yang ia rasakan sebagai anugrah yang sangat besar dari Allah SWT. Sebagai rasa syukurnya maka setiap remaja islam harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah untuk kemaslahatan hidupnya di dunia dan akhirat.
Berbagai godaan syetan untuk menyuburkan rasa cinta itu begitu besar sehingga banyak remaja yang terjerumus menganggap bahwa pacaran merupakan hal yang wajar bahkan ada istilah pacaran islami segala.
Sebagai remaja islam yang cerdas gunakan akal, pikiran dan aturan islam dalam menyikapi segala urusan termasuk urusan cinta, karena godaan/ujian terbesar dimasa remaja adalah mengelola hati dan fikiran dari rasa cinta terhadap lawan jenis. Ingatlah bahwa cinta yang suci, cinta yang bertanggung jawab adalah cinta yang dibangun setelah akad nikah dan cinta terhadap lawan jenis sebelum akad nikah lebih cenderung pada hawa nafsu belaka.
Jadi bila para pembaca merasakan getaran cinta terhadap seseorang, syukuri dan kemas menjadi sesuatu yang bernilai ibadah yaitu dengan tidak membiarkan hawa nafsu berkeliaran tanpa aturan islam yang benar. 


Tetap SEMANGAT ! :)

TEMAN KE SYURGA

Pertemanan (friendship) merupakan sebuah makna signifikan yang mesti ditarsirkan ulang. Makna dari “teman baik” berbeda dari satu orang ke yang lainnya. Sebagian orang meyakini bahwa teman baik adalah seseorang yang dapat dipercaya dan menjadi tempat untuk menceritakan semua rahasia. Sementara yang lain mendefinisikannya sebagai seseorang yang setia menemani baik ketika sedih maupun bahagia.

Kendati opini tentang definisi teman bervariasi, namun semuanya relatif benar. Dan jika kita meletakkan berbagai pandangan itu bersama-sama, maka semuanya bisa membentuk sebuah definisi sebenarnya tentang teman yang baik. Namun sejatinya masih terdapat sebuah makna signifikan dan peran dari sahabat baik yang sangat penting dalam perspektif Islam. Yaitu seseorang yang membantu kita untuk lebih dekat kepada Allah, membuat kita menjadi lebih patuh dan taat kepada perintah dan ajaran-Nya, serta memberi keuntungan positif untuk umat.Kriteria Teman Baik Menurut Islam

Jika demikian, apa sih sebenarnya kriteria teman yang baik dalam Islam? Pikirkan sejenak tentang teman-teman kita, dan biarkan ana bertanya, “Bagaimana kita memilih teman? Apa peran teman-teman dalam kehidupan kalian? Apakah teman hanya semata-mata untuk pergi bareng dan bersenang-senang?” Jika kalian mengamini semua pertanyaan di atas, maka ada baiknya berpikir ulang dan mencoba untuk memahami makna serta peranan teman yang shaleh. Teman bukan sekadar seseorang yang bisa diajak untuk menikmati waktu bersama. Peranan teman ternyata lebih dalam dari sekedar berbagai sudut pandang yang dangkal.

Seorang teman bisa membantu kalian melakoni amalan-amalan hebat yang memicu pahala dan surga. Di sisi lain, teman juga bisa menghalangi dirimu dari perjalanan menuju surga. Pengaruh teman terhadap diri kalian sungguh luar biasa, bahkan melebihi anggota keluarga. Inilah mengapa begitu penting untuk berhati-hati memilih teman.

…Teman bukan sekadar seseorang yang bisa diajak untuk menikmati waktu bersama. Seorang teman bisa membantu kalian melakoni amalan-amalan hebat yang memicu pahala dan surga…

Hal-hal penting yang harus kalian pikirkan ketika memilih teman adalah kedekatan mereka kepada Allah. Kalian bisa tahu kedekatan tersebut bukan hanya dari penampilan mereka. Tapi juga melalui tingkah laki, tabiat, akidah, dan tindak-tanduk mereka.

Teman yang sepanjang waktunya memikirkan bagaimana caranya menggapai pahala, bisa dekat dan menggapai keridhaan Allah melalui tindakannya adalah teman yang bisa kalian percaya. Jalinlah persahabatan dengannya.

Jika kalian tidak shalat, tidak pernah berpuasa, gemar bergosip, atau kalian tidak memiliki peran aktif dalam masyarakat, maka sudah seharusnya kalian memiliki teman-teman yang mampu memperbaiki perilaku dan sikap kalian menjadi lebih baik. Alangkah buruknya jika kita memiliki teman yang justru memperburuk moral, sikap, dan bahkan akidah kita.

Karena teman-teman berperangai buruk bisa mendorong kalian untuk melakukan tindakan-tindakan yang buruk juga. Berbohong, merokok, kecanduan narkoba, dan bahkan berzina adalah hal-hal yang merupakan hasil buruk dari teman-teman yang berperangai buruk. Seorang teman mengatakan, “Teman-teman memiliki dampak nyata terhadap diri seseorang, dan bahkan mereka bisa mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang.”

Sementara itu, teman-teman yang shaleh bisa memberikan pengaruh positif bagi kehidupan kalian; membuat hidup menjadi lebih baik dunia dan akhirat. Sebagai contoh, teman yang memiliki aktivitas dalam derma bisa mendorong kalian untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatannya. Hal demikian lebih baik daripada kalian menghabiskan waktu melakukan hal-hal tidak bermanfaat atau sesuatu yang haram bersama teman-teman berkelakuan keji. Teman-teman yang baik bisa menemani kalian untuk mengunjungi panti asuhan, menghadiri halaqah pembelajaran Al-Qur’an, atau menghabiskan waktu untuk hal-hal bermanfaat lainnya. Bahkan, selain bermanfaat, semua itu juga bernilai pahala di sisi Allah.

…Sementara itu, teman-teman yang shaleh bisa memberikan pengaruh positif bagi kehidupan kalian; membuat hidup menjadi lebih baik dunia dan akhirat…

Bahkan dalam kondisi penuh keceriaan dan kegembiraan pun, segala sesuatunya bisa berbeda jika kita lakukan bersama teman yang baik. Dia senantiasa mengingatkan kalian untuk selalu memperbarui niat karena Allah di mana pun dan kapan pun. Selain itu, teman yang baik senantiasa mendorong kalian untuk menjaga harga diri atau menjaga ibadah-ibadah yang dianjurkan, sehingga keindahan Islam selalu terukir di hati kalian.

Hal ini terjadi dengan Iman Asy-Syarif, seorang muslimah berkewarganegaraan Mesir berusia 25 tahun. Iman melakukan perjalanan ke Denmark tak lama setelah kasus kartun Nabi Muhammad merebak, untuk mengubah citra buruk Islam di sana. Apa yang mendorong Iman untuk melakukan sesuatu demi memperbaiki citra muslim?

Iman menerangkan, “Salah seorang teman saya mendorong saya untuk melakukan sesuatu demi umat. Sejak itu mulailah saya membaca banyak bacaan tentang Islam. Lalu saya ambil bagian untuk mengenalkan Islam kepada orang-orang non-muslim. Sejujurnya, saya tidak bisa mengenyampingkan peran teman yang telah membantu saya untuk melakukan hal-hal positif.”

Jelas, dengan teman-teman yang baik dan shaleh, kalian bisa melakukan hal-hal positif yang menguntungkan Islam dan kaum muslim. Kalian pun menjalani kehidupan yang bebas dari egoisme, kesedihan, kebencian, dan kegelisahan yang terjadi jika berteman dengan teman-teman yang buruk.

Kalian mungkin tidak merasakan dampak langsung dari teman-teman terhadap diri kalian. Tapi jika kalian mau berpikir secara lebih dalam, kalian akan mendapatkan bahwa teman memiliki pengaruh yang dahsyat, kendati kalian mengklaim bahwa kalian memiliki karakter dan kepribadian kuat. Inilah mengapa kalian mesti memilih teman secara bijak, karena teman bisa mengubah hidup kalian secara keseluruhan, baik positif maupun negatif.

Karena alasan demikian, Nabi Muhammad pernah bersabda, “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Dari Anas, dia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, ”Dan perumpamaan teman duduk yang baik itu bagaikan penjual minyak wangi kasturi, jika minyak kasturi itu tidak mengenaimu, maka kamu akan mencium bau wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jelek adalah seperti tukang pandai besi, jika kamu tidak kena arangnya (percikannya), maka kamu akan terkena asapnya.” (HR. Abu Dawud).

…Carilah sedikitnya seorang teman baik dan shaleh yang bisa menjadi batu loncatan bagi kalian menuju surga…

Menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami hadits di atas yang mengindikasikan dampak teman terhadap kehidupan seseorang, dan pentingnya memilih teman-teman yang baik. Maka pikirkanlah baik-baik. Dan bahkan jika semua teman kalian adalah teman yang berkelakukan buruk, maka Allah akan mengampuni, jika kalian mau bertobat. Carilah sedikitnya seorang teman baik dan shaleh yang bisa menjadi batu loncatan bagi kalian menuju surga. [ganna pryadha/voa-islam.com]

sumber: http://m.cybermq.com

Hukum Berjabat Dengan Non-Muhrim

Assalamualaykum :)

Zaman sekarang berjabatan tangan atau salaman antara laki-laki dengan perempuan sudah biasa. Tapi, apa pembaca tahu bahwa bersentuhan antara non-mukhrim itu haram? Yaa, pastilah pembaca sudah tahu hukum ini. Sering kali kebiasaan jelek ini (bersalaman dengan non-mukhrim) mengalahkan akhlak islami yang semestinya ditegakkan.

SAW bersabda:“Sungguh di tusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi, lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR Ath-Thabrani)

Kemudian tak diragukan lagi, hal ini termasuk zina tangan, sebagaimana disabdakan oleh SAW:“Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluanpun berzina”.(HR Ahmad)

Dan adakah orang yang hatinya lebih bersih dari hati Nabi Muhammad ? Walaupun demikian beliau mengatakan:“Sesungguhnya aku tidak pernah menyentuh tangan wanita”.(HR Ahmad)

Beliau juga bersabda:“Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan wanita”.(HR Thabrani)

Dan dari Aisyah radliAllah SWTu ‘anha, dia berkata: “Dan Demi Allah SWT, sungguh tangan SAW tidak (pernah) menyentuh tangan wanita sama sekali, tetapi beliau membai’at mereka dengan perkataan”.

Hendaknya takut kepada Allah SWT , orang-orang yang mengancam cerai istrinya yang shalehah, karena ia tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya.
Perlu juga diketahui, berjabat tangan dengan lawan jenis, meski memakai alas (kaos tangan) hukumnya tetap haram.

Semoga Bermanfaat yaa :) tetap tebarkan kebaikan :D


Sumber : http://www.ikatanwargaislaminalum.com

KRITERIA REMAJA MUSLIM

Assalamualaykum :)
masih suka bertanya-tanya "sebenernya gimana sih bisa jadi muslim sejati?"
Berikut ini adalah apa saja yang harus dimiliki oleh seorang remaja muslim :

1. Taat pada Allah dan Rasul
" Ta'atilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Q.S Ali Imron : 32)
2. Selalu menjaga kesehatan diri
" Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, pada keduanya ada kebaikan . " ( HR. Muslim )
3. Jadilah orang yang pintar
".... Allah akan meniggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat..." (QS. Al Mujadilah : 11)
4. Cerdas
Setiap remaja muslim harus berfikiran cerdas. Cerdas versi rosul adalah orang yang selalu ingat akan kematian, sehingga dengan begitu kita akan selalu mempersiapkan bekal untuk hari kemudian.
5. Trampil
Sebagai remaja muslim harus punya banyak keterampilan, diantaranya trampil mengatur uang jajan, trampil mengelola waktu, trampil dalam bergaul dll.
6. Menjaga Penampilan Diri
Penampilan diri seorang muslim harus bersih, rapih, sopan, santun, ramah.
7. Disiplin dalam menjalani setiap aktifitas kehidupan
8. Optimis dalam Hidup, selalu berusaha agar hari ini lebih baik dari hari kemarin.
9. Sabar dengan ketetapan Allah.

Apapun yang telah terjadi dalam kehidupan ini semua hanya terjadi dengan izin Allah, seorang remaja muslim harus ikhlas dengan setiap ketetapan Allah yang membuat hati ini senang ataupun kecewa. Yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita kalau kita memintanya.

Semoga kita termasuk muslim dan muslimah sejati yaa.. Aamiin :)

Jumat, 22 Februari 2013

SEJARAH PERADAPAN ISLAM FASE MEKAH DAN MADINAH HIZBUN NASHOR



A. Penyebaran Islam Periode Mekah
1. Dakwah Secara Sembunyi-Sembunyi
Sejarah islam pertama turun di Makkah dengan turunnya wahyu pertama  kepada Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang turun pada bulah ramadhan tahun  610       M itu adalah surah Al-‘Alaq ayat 1-5. Ketika turun ayat ini, Nabi Muhammad SAW belum di perintahkan untuk menyampaikan risalah illahi kepada umat manusia. Namun wahyu ini menandakan muhammad baru di angkat menjadi nabi. Beberapa saat kemudian, tepatnya setelah turun wahnyu allah untuk memantapkan hati Nabi Muhammad SAW. (QS. Al- Qalam/68:1-7 dan Al-Muzzammil/73:1-7), jibril datang menyampaikan vwahyu sebagai perintah kepada Nabi Muhammad SAW, untuk menyampaikan risalah illahi kepada manusia. Wahyu itu adalah surah Al-Muddassir ayat 1-7
Turunnya wahyu tersebut sebagai  pengangkatan rosulullah saw, manjadi seorang rasul. Artinya, beliau mendapatkan perintah untuk mendakwahkan islam kepada seluruh umat manusia. Tugas ini merupakan perkara yang besar dan berat. Beliau harus berhadapan dengan berbagai  tantangan dan masalah, antara lain perombakan sistem kebudayaan, sosial, kepercayaan penduduk mekah, dan meluruskan sistem sosial yang tidak adil.
Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, hal itu untuk mengantisipasi guncangan dimasyarakat. Beliau memulai dakwahnya kepada keluarga dan karib kerabatnya. Beliau mengetahui bahwa orang Quraisy sangat terikat, fanatik dan kuat mempertahankan kepercayaan jahiliyah. Beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3-4 tahun.
4 tahun pertama adalah masa nabi muhammad mempersiapkan diri menghimpun kekuatan, dan mencari pengikut setia. Seiring dengan itu, wahyu yang turun saat itu bersifat mendidik, membimbing, membina, mengarahkan, dan memantapakan hati dalam rangka mewujudkan kesuksesan dakwahnya. Nabi Muhammad SAW dibekali wahyu yang mengandung pengetahuan dasar mengenai sifat allah dan penjelasan mengenai dasar akhlaq islam. Selain itu wahyu saat itu sebagai banntuan secara umum tentang penduan hidup masyarakat jahiliyah yang berkembang saat itu.
Orang pertama yang masuk islam berasal dari kalangan rumah tangga beliau Khodijah, Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin Harisah, kemudian Abu Bakar, san Ummu Aiman. Melalui Abu Bakar pengikut beliau bertambah, mereka adalah Abd Amar bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan talhah bin Ubaidillah. Mereka inilah yang mendapat gelar Sabiqunal Awwalun, artinya orang-orang yang pertama masuk islam.
Ketika umat sidit, Nabi Muhammad SAW melarang pengikutnya menyatakan keislamannya secara terbuka. Meskipun demikian Abu Bakar terus berdakwah mengajak penduduk mekah untuk masuk islam. Ia berhasil mengislamkan beberapa tokoh, antara lain Abu ubaidah bin al- Haris, Abu Salamah bin Abdul Asad,  Arqam bin Abil Arqam, Usman bin Maz’un, Abdullah bin Maz’un, serta Asma’ dan Aisyah ( keduanya anak Abu Bakar). Bahkan Arqam bin Abil Arqam menyediakan rumahnya untuk pembinaan umat oleh Nabi Muhammad SAW sekaligus tempat untuk berdakwah.
2. Dakwah Secara Terbuka
Penduduk mekah banyak yang sudah mengetahui dan membicarakan agama baru yang beliau bawa. Mereka menganggap agama itu sangat bertentangan dengan agama nenek moyang kita, pada saat itu turun wahyu surah Al-Hijr/15:94 yang memerintahkan kepada beliau untuk melakukan dakwah secara terbuka dan terang-terangan kepada seluruh masyarakat.
Dengan turunnya ayat tersebut, Nabi Muhammad SAW mulai melakukan dakwah dengan terang-terangan. Dakwah ini membuat seorang tokoh Bani Giffar yang tinggal di Barat Laut Merah menyatakan diri masuk islam. Ia adalah Abu Zar al-Giffari. Atas perintah Nabi Muhammad SAW, Abu Zar al-Giffari kemudian pulang untuk berdakwah dikampungnya. Sejak itulah banyak yang masuk islam melalui Abu Zar. Melalui cara itu pula, Bani Daus juga masuk islam. Orang pertama dari Bani Daus yang masuk islam adalah Tufail bin Amr ad-Dausi, seorang penyair terpandang di Kabilahnya. Dengan demikian islam sudah mulai tersebar diluar mekah.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah mendorong kaum kafir Quraisy melancarkan tindakan kekerasan terhadap beliau dan pengikutnya. Di tengah meningkatnya kekejamnya pemimpin kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Hamzah bin Abdul Mutalib dan Umar bin Khattab, dua orang kuat Quraisy masuk islam, hal ini membuat orang kuraisy mengalami kesulit untuk menghentikan dakwah beliau.
Suatu ketika nabi muhammaad saw, melakukan dakwah secara terbuka. Beliau naik ke bukit safa dan memanggil semua suku yang ada di sekitar mekah untuk mengetahui apa yang akan disampaikan oleh nabi muhammad, semua suku mengirimkan utusannya, bahkan Abu Lahab, paman beliaupun hadir. Nabi Muhammad SAW berseru, ” jika saya katakan kepada kamu bahwa dibalik bukit ada pasukan berkuda yang akan meenyerangmu, apakah kalian percara?”.
Mereka mejawab, “ Kami percaya. Kami tidak ragu kebenaran perkataanmu sebab kamu orang yang jujur dan kami tidak pernah menemui kamu berdusta.”
Nabi Muhammad SAW kamudian berseru, Saya peringatkan kamu akan siksa di hari kiamat. Allah menyuruhku untuk mengajakmu menyembah kepada-Nya, yaitu tuhanku dan tuhanmu juga, yang membentuk alam semesta termasuk yang kamu sembah. Maka tinggalkanlah Latta, Uzza, Hubal,dan berhala-berhala lain sesembahanmu”
Mendengar seruan tersebut, Abu Lahab marah dan seraya berkata, ” hari ini kamu (muuhammad) celaka, apakah hanya untuk ini kamu kumpulkan kami semua?”.
Nabi muhammad termenung sejenak memikirkan reaksi dari kaumnya yang menentang dakwahnya. Kemudian turun wahyu surah (Al-Lahab/111;1-5) yang menerangkan bahwa yang celaka bukanlah beliau, tetapi Abu lahab sendiri.
Setelah peristiwa tersebut para pemimpin Quraisy mendatangi Abu Talib, paman yang mengasuh Nabi Muhammad SAW. Mereka menuntuk agar Abu Talib mencegah kegiatan dakwah keponakannya. Pertama, mereka meminta kepada Abu Talib untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW, tetapi perpimtaan itu tidak mengubah pendirian Nabi Muhammad SAW, dan Abu Talib. Kedua, mereka mengutus Walid bin Mugirah dengan membawa seorang pemuda untuk ditukarkan dengan Nabi Muhammad SAW. Mereka akan bangkit memerangi Nabi Muhammad SAW. Ancaman itu tampaknya sangat berpengaruh pada diri Abu Talib, ia pun memanggil Nabi Muhammad SAW untuk berhenti dari dakwahnya. Namun, Nabi Muhammad SAW tetap tegar dan menolakpermintaan pamannya dan berkata, “ Demi allah, walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghintikandakwah agama allah hingga agama ini menang dan atau aku binasa didalamnya”.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Nabi Muhammad SAW maninggalkan Abu Talib seraya menangis. Abu talib memanggilnya kembali seraya berkata, “ Wahai anak saudaraku! Pergilah dan katakanlah apa yang kamu kehdaki ( dakwah). Dimi allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka selamanya.”
Tidak berhasil dengan cara itu, para pemimpin Quraisy mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika untuk membujuk Nabi Muhammad SAW. Mereka menawarkan tahta dan harta, asalkan beliau bersedia menghentikan dakwahnya. Tawaran itu pun ditolak keras oleh naabi muhammad saw.
3. Pemboikotan Dan Rencana Pembunuhan
Tekanan-tekanan yang dilakukan kafir Quraisy kepada umat islam, ternyata tidak membuat islam dijauhi. Sebaliknya umat islam makin bertambah. Hal itu membuat Abu Jahal menekan kepada pimpinan Quraisy untuk memboikot Bani Hasyim. Tindakan pemboiKotan itu sangat menyengsarakan Bani Hasyim dan Bani Mutalib, Bani Mutalib juga ikut terboikot karena solidaritas mereka tertuju kepada Bani Hasyim. Isi surat pemboiKotan itu adbalah sebagai berikut:
  1. Muhammad dan kaum keluarganya serta pengikutnya tidak diperbolehkan menikah dengan bangsa Arab Quraisy lainnya, baik laki-laki maupun perempuan.
  2. Muhammad dan keluarganya serta pengikutnya tidak boleh mengadakan hubungan jual beli dengan kaum Quraisy lainnya.
  3. Muhammad dan keluarganya serta pengikutnya tidak boleh bergaul dengan kaum Quraisy lainnya.
  4. Kaum Quraisy tidak dibenarkan membantu dan menolong muhammad, keluarga, ataupun pengikutnya.
Surat ini di gantung di dinding Ka’bah dan berlaku untuk selamanya, kecuali jika muhammad dan keluarganya menyerah. Tetapi setelah 3 tahun, surat pemboikotan itu diturunkan oleh beberapa orang Quraisy, merka menganggap pemboiKotan termasuk perbuatan yang tidak manusiawi. Dengan demikian berakhilah pemboiKotan itu dan umat islam kembali ke Makkah, meskipun hal itu bukanlah akhir dari penindasan terhadap umat islam.
4. Hijrah Ke Habsyi
Beberapa hari setelah pemboikotan berakhir, Abu Thalib meninggal dan kepemimpinan Bani Hasyim beralih kepada Abu Lahab. Tekanan terhadap Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya makin bertambah kejam. Hal ini membuat Nabi Muhammad SAW merasa kasihan terhadap para pengikutnya, beliau memerintahkan mereka hijrah ke Habsyi pada tahun 615 M atau tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan pertama yang hijrah berjumlah 15 orang, yng terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita. Kemudian disusul rombongan kedua yang berjumlah hampir 100 orang. Diantara sahabat yang ikut hijrah yaitu Usman bin Affan dan istrinya (Ruqoyyah), Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin Auf, dan Ja’far bin Abi Talib.
Kedatangan kaum muslimin di Habsyi diterima oleh raja Najasyi dengan baik. Mereka mendapat perlindungan dan bantuan bahan makanan. Perlakuan Raja Najasyi terhadap umat islam itu membuat kaum kafir Quraisy sakit hati. Mereka mengutus Amru bin As dan Abdullah bin Rabi’ah untuk menghadap Raja Najasyi meminta orang-orang muslimin di kembalikan ke kaum kafir Quraisy. Tetapi setelah Raja Najasyi mendengarkan ayat yang dibacakan oleh Ja’far bin Abi Talib, beliau berkata,” kalimat itu dan kalimat yang dibawa nabi Musa berasal dari satu sumber”. Kemudian ia berpaling kepada utusan Quraisyi dan berkata,” Pulanglah! Mereka tidak akan kuserahkan kepadamu”.
5. Misi Ke Ta’if
Banyak perlakuan kasar kaum kafir Quraisyi kepada Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, semua itu tidak menjadikan beliau mundur untuk berdakwah. Beliau mencoba berdakwah ke Ta’if, sebuah Kota di Hijaz yang terletak disebelah tenggara Mekah. Namun disana beliau mendapatkan kelompok masyarakat yang lebih kejam dan bengis dalam menerima dakwahnya. Penduduk Kota Ta’if menghina dan melempari beliau hingga terluka.
Mendapat perlakuan kejam dari penduduk Ta’if, Nabi Muhammad SAW terpaksa menyelamatkan diri dan berlindung di balik pagar kebun Utbah dan Syaibah, dua anak bersaudara.
Demikian kejam perlakuan penduduk Ta’if dari Kabilah Saqif kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun demikian, kekejaman itu tidak membuat beliau putus asa dalam menyampaikan dakwah. Beliau terus berdakwah kepada Kabilah-Kabilah Arab yang lain, seperti Kabilah Kandah, Bani Kalb, Bani Hanifah, dan Bani Amr. Akan tetapi, semua Kabilah itu juga menolak dengan kasar.
6. Respons Masyarakat Yasrib
Ketika musim haji tiba, Nabi Muhammad SAW menggunakannya untuk menyampaikan dakwah kepada jama’ah haji yang datang dari seluruh penjuru Arab. Di antara mereka terdapat orang-orang Yasrib dan Suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sering mendengar berita dari orangg-orang yahudi bahwa nabi akhir zaman akan segera datang.
Pada saat Suku Aus berhaji pada tahun ke-10 dari kenabian, bertepatan dengan tahun 620 M. Nabi muhammad menyampaikan dakwah kepada jamaah haji yang hadir di sekitar Ka’bah. Beliau mengajak mereka untuk beriman kepada allah yang maha ESA dan berbuat baik. Mendengar ajakan tersebut, suku Aus dan Khazraj memperhatikan secara seksama. Dakwah tersebut sesuai dengan pemahaman mereka yang diperoleh dari orang-orang yahudi. Mereka yakin bahwa ini adalah nabi yang di tunggu. Mereka sepakat untuk menerima dakwah tersebut dan mendekati beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Kami datang dari Yasrib yang penduduknya saling bermusuhan. Dengan dakwahmu, mudah-mudahan allah mendamaikan mereka dan menjadikannya bersaudara . kamu adalah laki-laki yang paling mulia”.
7. Perjanjian Aqobah I
Ada enam pokok persoalan penting yang menjadi sumpah setia dalam Baiat Aqabah I, diantaranya:
  1. Mereka tidak akan menyekutukan allah dengan sekutu apapun
  2. Mereka tidak akan mencuri
  3. Mereka tidak akan berzina
  4. Mereka tidak akan membunuh anak-anaknya
  5. Mereka tidak akan berbuat fitnah, dusta, dan curang
  6. Mereka tidak akan mendurhakai nabi muahmmad saw
8. Perjanjian Aqobah II
Nabi Muhammad SAW tersenyum mendengar pernyataan para kaumnya, dan berkata. “ saya berjanji akan berperang dengan siapapun yang kamu perangi dan berdamai dengan siapapun yang kamu berdamai”.
Mendengar jawaban itu, mereka serempak berdiri mengucapkan janji setia.
  1. Kami bersumpah untuk taat kepada Rasulullah dalam susah dan senang
  2. Kami bersumpah akan mengatakan kebenaran dimanapun kami berada
  3. Kami bersumpah tidak gentar menghadapi fitnah dari siapapun juga
Dengan terjadinya Baiat Aqabah II, ada arti penting bagi perkembangan islam, antara lain sebagai berikut:
  1. Kaum muslim Yasrib siap membela islam dan Rosulullah
  2. Rasuluallah siyap untuk berhijrah ke Yasrib
  3. Rasulullah dan umat islam akan menghadapi perjuangan yang sangat besar mengahadapi kemarahan orang-orang kafir Quraisy
B. Penyebaran Islam Periode Madinah
Setelah terjadinya baiat aqobah II, Rasulullah menyuruh umat islam berhijrah ke Yasrib secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang kafir. Beliaupun akhirnya menyusul hijrah.
Di Madinah, Nabi Muhammad SAW segera meletakkan dasar kehidupan yang kukuhbagi pembentukan masyarakat baru. Disamping kaum Muhajirin dan Ansyar, modal utama yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW adalah Islam yang bersumber pada wahyu yang ada dalam Al-Qur’an. Di dalamnya terkandung ajaran aqidah yang tinggi dan sempurna sehingga mampu menyatukan manusia dibawah satu bendera.
Ketika masih di Quba, Nabi Muhammad SAW bersama umatnya mendirikan sebuah masjid yang pertama. Masjid Quba di dirikan di atas sebidang tanah yang terletak di dekat rumah Abu Ayub Khalid al-Ansari. Masjid ini yang akhirnya berfungsi sebagai pusat politik dan pemerintahan.
Setelah mendirikan masjid Nabi Muhammad SAW membina persatuan dan kesatuan umat islam. Pada tahap berikutnya, Nabi Muhammad SAW mulai melakukan musyawarah dengan para sahabat, kaum Muhajirin dan kaum Ansyar untuk merumuskan pokok-pokok dasar kehidupan masyarakat dan bernegara ( Piagam Madinah/Konstitusi Madinah)
Meskipun sudah menandatangani ppiagam Madinah, orang-orang Yahudi berupaya merongrong kebijakan negara. Mereka berupaya menyerang agama islam dan menghalangi menyebarnya agama islam di khalayak yang lebih luas.
Setelah dua tahun berada diMadinah, Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu yang memperbolehkan berperang untuk mempertahankan diri. Semenjak wahyu tersebut turun umat islam tidak lagi bersifat mengalah terhadap tindakan kaum kafir. Ada dua sebutan perang pada masa Nabi Muhammad SAW, yaitu gazwah dan syariyah.
Berikut ini beberapa peristiwa besar dalam sejarah penyebaran islam yang terjadi pada periode Madinah.
1. Perang Badar
Perang Badar terjadi karena kaum kafir Quraisy telah mengusir dan merampas seluruh harta benda kaum muslimin sehingga terpaksa Hijrah ke Madinah. Selain itu, kaum kafir Quraisy selalu berusaha menghancurkan kaum muslimin untuk menjamin keselamatan jalur perniagaan dan supaya kaum muslimin tidak lagi mengusik sesembahan mereka. Hal ini telah membangkitkan semangat jihad dikalangan kaum muslimin.
Perang Badar terjadi pada hari jum’at Maret 624 M/17 Ramadhan 2 H di Lembah Badar, sebagai perang pertama dalam sejarah islam. Pasukan muslimin berjumlah 313 orang, sedangkan pasukan kafir berjumlah 1.000 orang. Perang ini di menangkan kaum muslimin. 2. 2. Perang Uhud
Kekalahan dalam perang Badar mendorong kaum kafir untuk melakukan serangan secara besar-besaran terhadap umat islam diMadinah. Pada tahun 3 H/625 M, dengan bantuan dari Kabilah Saqif, Tihamah, dan Kinanah, mereka berangkat ke Madinah dengan membawa 3.000 pasukan unta, 200 pasukan berkuda dibawah pimpinan Khalid bin Walid ( sebelum masuk islam) dan 700 orang pasukan berbaju besi.
Mengetahui rencana itu, Nabi Muhammad SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat. Untuk menyongsong kaum kafir Quraisy itu, beliau memberangkatkan 1000 pasukan. Namun baru melewati jalan batas Kota, Abdullah bin Ubay ( seorang munafik), dengan 300 orang yahudi membelot dan kembali pulang. Beberapa kilometer dari Kota Madinah, tepatnya dibukit uhudm nabi muhammad menempatkan 50 orang pemanah mahir dilereng bukit yang cukup tinggi untuk membendung serangan berkuda musuh. Pasukan ini di bawah pimpinan Hamzah bin Abdul Mutalib. Nabi Muhammad SAW berpesan agas tidak meninggalkan temapat itu dengan alasan apapun.
Pasukan kafir Quraisy dibawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal telah datang mengahalau kaum muslimin. Pasukan musliimin dapat memukul mundur pasukan musuh yang lebih besar, namun kemenangan yang sudah di depan mata itu di gagalkan oleh godaan harta yang di tinggalkan oleh pihak musuh. Pasukan muslimin termasuk anggota pemanah mulai memungut harta rampasan dan tidak menghiraukan pergerakan musuh.
Khalid bin Walid pun membelokkan pasukakan untuk kembali menyerang. Mereka menyerang dari atas bukit yang di tinggalkan oleh pasukan muslimin, pasukan muslimin tak mampu bertahan. Hamzah, paman Rasulullah terbunuh dengan dada di belah dan hatinya di keluarkan oleh Hindun (istri Abu Sufyan), serta di makan dan dimuntahkan. Pada perang Uhud ini Rasulullah saw mengalami luka-luka, bahkan kaum kafir Quraisy menyebarkan isu bahwa beliau telah gugur. Taktik ini berhasil melemahkan semangat pasukan muslimin yang belum kuat imannya. Dalam peperangan ini 70 pasukan muslim dan 25 pasukan Quraisy gugur.
3. Perang Khandaq (Perang Parit)
Peristiwa ini terjadi pada tahun 5 H/627 M. Pasukan muslimin berjumlah 3000 orang di bawah komando Nabi Muhammad SAW, dan pasukan sekutu berjumlah 10.000 orang di bawah komando Abu Sufyan. Peperangan ini terjadi karena hasutan beberapa orang yahudi yang tidak puas dengan keputusan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengajak orang-orang kafir Quraisy memerangi Nabi Muhammad SAW untuk membalas kekalahan pada perang Badar, kafir Quraisy pun menerima tawaran tersebut.
Setelah berhasil mempengaruhi orang kafir Quraisy, orang-orang yahudi juga mengajak Kabilah yang lain, yaitu Kabilah Gatafan. Mereka pun menyambut ajaran orang-orang yahudi untuk memerangi Nabi Muhammad SAW. Kabilah Gatafan di janjikan harta rampasan perang dan pertanian di Khaibar jika memperoleh kemenangan, karena pasukan ini terdiri dari beberapa gabungan-gabungan kekuatan. Pasukan ini di sebut ahzab (sekutu/gabungan). Oleh karena itu perang ini juga di sebut sebagai Perang Ahzab.
Keberangkatan pasukan Ahzab dengan 10.000 orang ini terdengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kekuatan musuh yang begitu besar membuat umat islam harus berfikir keras. Akhirnya, muncullah usulan dari Salman al-Farisi untuk membuat (khandaq) parit sebagai benteng pertahanan. Strategi ini belum dikenal di lingkungan pasukan Arab, pembuatan parit diselesaikan dalam waktu 6 hari.
Dalam perang ini tidak terjadi baku hantam karena kedua pasukan di pisahkan oleh parit pertahanan, yang terjadi hanya perang tanting yang antara beberapa orang kafir dan muslim. Dalam perang tanding itu, Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh Amr bin Abdul Wudd bin Abi Qais. Umat islam terkepung oleh pasukan sekutu selama satu bulan meskipun tanpa kontak senjata yang berarti. Kesengsaraan ini bertambah ketika Bani Quraizah membatalkan perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW, atas bujukan Huyyay bin Akhtab. Dengan membeloknya Bani Quraizah, akan manghambat suplai makanan bagi kaum muslimin.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan, tanpa diketahui siapapun seorang Kabilah Gatafan yang bernama Nu’man bin Mu’az menyatakan diri masuk islam. Kemudian ia diberi tugas oleh Nabi Muhammad SAW untuk memecah belah pasukan sekutu, dan akhirnya tumbuh sikap saling tidak percaya di dalam pasukan sekutu. Pasukan sekutu semakin kacau ketika suatu malam Allah saw menurunkan angin topan yang memporak-porandakan kemah mereka. Meereka pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumah masing-masing.
Setelah pasukan sekutu berlalu, Bani Quraizah di kepung oleh pasukan muslimin selama 25 hari. Akhirnya Bani Quraizah di usir dari Madinah, dan bagi yang terlibat dalam pemboiKotan dijatuhi hukuman mati, sedangkan wanita dan anak-anak dijadikan tawanan.
4. Perang Mu’tah
Penyebab terjadinya perang ini adalah di bunuhnya utusan Nabi Muhammad SAW yang membawa surat kepada Raja Gassan untuk menyeru masuk islam. Setelah informasi pembunuhan itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW, beliau mengirim pasukan islam sebanyak 3000 orang di bawah pimpinan Zaiz bin Harisah untuk menghadapi Raja Gassan.
Peperangan ini terjadi di Mu’tah, di utara Zazirah Arabia. Pasukan islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan langsung dari pasukan Romawi. Beberapa mujahid gugur dalam pertempuran ini, termasuk Zaid bin Harisah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah. Perang ini disebut perang mu’tah karena terjadi di daerah mu’tah.
5. Perjanjian Hudaibiyah
Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin sudah merindukan ibadah haji. Pada tahun ke 6 H, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin berangkat ke Makkah. Jumlah mereka sebanyak 1000 orang, untuk menghilangkan praduga jelek dari kaum kafir Quraisy, umat islam berpakaian ihram dan menuntuk ternak untuk di sembelih pada hari Tasrik di Mina. Untuk sekedar menjaga diri, mereka membawa pedang yang disarungkan.
Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW berhenti. Beliau mengutus Usman bin Affan kepada orang-orang kafir Quraisy untuk menjelaskan tujuan kaum muslimin ke Makkah, yaitu untuk beribadah haji dan menengok saudara-saudaranya. Namun Usman di tahan oleh orang kafir Quraisy dan terdengar berita bahwa dia dibunuh. Ternyata berita itu tidak benar, Usman datang dan berhasil memberi penjelasan kepada orang-orang kafir Quraisy.
Tidak lama kemudian, utusan kafir Quraisy yang bernama Suhail bin Amr datang. Dalam pertemuan itu disepakati perjanjian antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy. Perjanjian itu di sebut perjanjian Hudaibiyah. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
  1. Umat islam tidak diperbolehkan menjalankan Umrah tahun ini. Tahun depan baru diperbolehkan. Umat islam tidak boleh berada dimekah lebih dari 3 hari.
  2. Keduanya tidak saling menyerang selama 10 tahun.
  3. Orang islam yang lari kee Makkah (murtad) diperbolehkan, sedangkan orang kafir ( mekah) yang lari ke Madinah ( masuk islam) harus ditolak.
  4. Suku Arab yang lain bebas memilih ikut ke Madinah atau ke Makkah.
Kelihatannya perjanjian ini merugikan kaum musllimin, tetapi hikmahnya sangat besar. Masa 10 tahun dapat dimanfaatkan untuk berdakwah dengan bebas tapa hawatir ada gangguan dari kaum kafir Quraisy. Dalam masa 2 tahun saja pengikut Nabi Muhammad SAW sudah bertambah menjadi banyak.
Perjanjian Hudaibiyah ini berlangsung cukup lama. Orang kafir Quraisy yang melanggar perjanjian dengan menyerang suku Khuza’ah yang beragama islam. Pada tahun 7 H terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy yang di sebut Perang Khaibar.

6. Fathul Mekah ( Penaklukan Kota Mekah)
Setelah perjanjian hudaibiyah dikhianati dan dilanggar kaum kafiir Quraisy. Nabi muhammad dan para sahabatnya berupaya untuk menaklukkan Kota Makkah. Beliau menyiapkan pasukan sebanyak 10.000 orang. Hal itu terjadi pada tahun 8 H. Pasukan muslimin berjalan cepat memasuki Kota Makkah. Nabi Muhammad SAW memberi perintah, “ jangan sekali-kali menyerang jika tidak diserang”.
Melihat pasukan muslimin yang demikian banyak dengan di iringi suara takbir, orang-orang kafir Quraisy tidak mampu berbuat apa-apa. Pasukan muslimin masuk Makkah tanpa perlawanan, selanjutnya nabi muhammad menuju Makkah dan berseru, “siapa yang menutup pintu rumahnya, aman. Siapa yang menyarungkan pedangnya, aman. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, aman”. Orang-orang kafir Quraisy mematuhi seruan tersebut. Mereka menutup pintu rumahnya, menyarungkan pedang, dan masuk kerumah Abu Sufyan. Kemudian nabi muhammad menyuruh kaum muslimin menghancurkan berhala-berhala yang berada disekitar Ka’bah.
Nabi Muhammad SAW melakukan haji wadak pada tahun 10 H/632 M. Pada waktu melaksanakan haji wadak inilah, beliau menerima wahyu yang terakhir, yaitu surah al-Maidah ayat 3.
Setelah melaksanakan haji wadak dan menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah bersama kaum muslimin. Delapan puluh hari kemudian beliau jatuh sakit dan wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 H.
Smoga bermanfat. Jazakallah