Dua
Jalan, Dua Tujuan. Namun Teman Yang Seperti Apa
Oleh :
Adnan Oktar
Bukankah kami telah memberinya
sepasang mata...dan menunjukkan kepadanya dua jalan.(QS. Al-Balad, (90):8,10)
Semua manusia mencari teman
sejati. Mereka mencari orang untuk berbagi kebahagiaandengan mereka, orang
yangbersediamembantu di saat mereka mengalami kesulitan, yang menunjukkan jalan
keluar pada merekaketika mereka tidak sanggup menemukan apapun,yang bersedia
mencintai mereka di setiap keadaan, yang setia,
melindungi,menyikapikesalahan-kesalahan yang mereka perbuat dengan lemah
lembut, danyang tidak akan meninggalkan mereka baik ketika mereka
sedangsakit,sehat maupun ketika telah mencapai usia tua.
Akan tetapi, terdapat dua jalan yang
dapat dipilih seseorang dalam mendapatkan teman yang demikian. Yang pertama
adalah jalan dari Yang Pengasih, sebuah ketetapan nilai moral (akhlâq)
Al-Qur’ân yang dipilih oleh mmu’minkarena ridhâ Allah. Sedangkan jalan
yanglainadalah cara berteman yang didasari pada kepentingan dan keuntungan
duniawi. Dalam artikel ini, kita akan melihat alasan-alasan yang mendasari dua
kepentingan tersebut, menjelaskan perbedaan-perbedaan antara ikatan pertemanan
yang kuat diantara mu’mindan non mu’minyang hanya didasarkan pada kepentingan
duniawi.
Pertemanan yang menambatkan
kepentingan pada nilai moral:
agar menjadi teman yang sejati, seseorang harus mencintai orang lain semata-matademi
nilai moral yang sepantasnya. Inilah sebuah bentuk ketakutan dan
kecintaan, keyakinan, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Di
atas nilai luhur inilah pertemanan itu kekal dan akan mencapai karakter yang
kuat.
Pertemanan yang abadi: tak dapat dipungkiri bahwa teman sejatidimana
setiap orangmerasa membutuhkan dan mencarinya merupakan sebuahanugrah yang
sangat besar. Teman sejati adalah seseorang yang akan hadir baik
disaatsenangmaupun susah, yang mengharapkan hal yang sama untuk temannya
sebagaimana yang ia harapkan untuk dirinya, yang menginginkan temannya merasa
bahagiaseperti halnya yang ia inginkan untuk dirinya. Dialah orang yang
menghindari perasaan-perasaanseperti iri; intoleran; dan permusuhan;yang
mencintai orang lain dengan tulus dan selalu menginginkan yang terbaik
untuknya.
Pertemanan yang diarahkan pada hari
akhirat: prasyarat menjadi teman yang
sejati adalah dengan mengarahkan kebahagiaan orang lain di dunia maupun di
akhirat. Satu sifat penting dari pertemanan ini adalah berkata dengan jujur dan
terbuka, memberitahu kekeliruan keyakinan orang lain, dan dengan penuh kasih
sayang menunjukkan cara untuk memperbaikinya. Hanya teman sejati yang benar-benar
mencintai orang lainlah yang dapat melakukan ini.
Pertemanan yang didasari rasa cinta
dan hormat: di sebuah lingkungan di mana orang
hidup dengan moralitas Qur’âni, serta takut dan yakin pada Allah adalah
nilai-nilai yang dengannya orang dapat benar-benar merasakan cinta dan hormat
terhadap sesama. Cinta, kepercayaan dan kesetiaan yang dirasakan orang mu’min
terhadap sesama dibentuk sepenuhnya menurut ikhtiar yang mereka lakukan di
jalan Allah. Seorang mu’min yang menggunakan apa yang dimilikinya untuk
kebaikan hanya karena ridha Allah dan menjalankannya dengan teguh, maka ia akan
mendapatkan cinta saudara-saudara Muslim dan ia telah membuat contoh yang baik
bagi saudara-saudaranya. Kesetiaan yang kuat di antara mereka akan meningkatkan
cinta, pengabdian, dan kepercayaan yangmereka rasakansatu sama lain. Oleh
karena itu, jika pertemanan dan kedekatan itu dibangun diatas ketakutan dan
keyakinan orang pada Allah dan berada pada moral yang tepat, maka perubahan
fisik–yang disebabkan oleh penyakit atau usiatidak akan mempengaruhinya.
Sebaliknya, justru kasih dan sayangyang lebih besarlah yang akan dirasakan
orang mu’min.
Pertemanan yang didasari kejujuran: kejujuran yang disertai ketulusan dan keikhlasan bermakna
apa yang ada di luar diri seseorang (zhâhir) sama seperti apa yang ada
di dalam dirinya (bâthin), sebuah cerminan dari apa yang ia rasakan dan
alami di dalam hatinya. Maksudnya adalah berlaku ikhlas, terbuka dan jujur,
mengungkapkan karakter seseorang yang sesungguhnya tanpa menyembunyikan pikiran
dan perasaan yang sebenarnya, tidak menghitung apa yang telah diperbuat, atau
mencoba tampil beda dari apa yang sebelumnya. Menurut nilai moral Al-Qur’ân,
seseorang itu bernilai karena upaya untuk meningkatkan kejujurannya, dan teman
serta orang-orang tercintanya mencintainya karena mereka tahu bahwa ia ia tulus
terhadap mereka.
“Temanmu (penolongmu) hanyalah
Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, seraya tunduk (pada Allah).”
(QS. Al-Mâ’idah, (5):55)
Pertemanan yang diganjari
kesendirian: hal ini terjadi pada orang-orang
karena mereka gagal memetik nilai moral dalam Al-Qur’ân atau pedoman mereka,
sehingga–meskipun mereka merindukannya–mereka tidak pernah dapat menemukan
teman sejati. Itulah sebabnya seringkali mereka berkata “saya sangat
kesepian,” “saya tidak memiliki teman di dunia ini,” atau “mereka telah
meninggalkanku sendiri, jadi mereka hanyalah teman sesaat.”
Pertemanan yang berdasarkan pada
kedudukan dan martabat:
pertemanan yang dibangun di atas nilai-nilai seperti kekayaan, keindahan
penampilan, martabat, dan kedudukan atau status sosial tidak akan pernah
bertahan lama. Karena kelak terdapat perubahan pada nilai-nilai tersebut,
sehingga pertemanan pun berakhir. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki cara
pandang demikian, kemudian ia mau berteman dengan seseorang karena ia begitu
menarik dan mengesankan, secepatnya akan kehilangan hal tersebut ketika
mereka–misalnya–cacat sehingga tak dapat dikenal, miskin, dan tak berdaya
karena sebuah musibah.
Pertemanan yang didasari persaingan: orang yang memandang orang lain sebagai pesaing atau
musuh, biasanya hanya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain. Karena
biasanya mereka tidak ingin orang lain lebih baik dari dirinya, atau bahkan
jika melihat ada kekurangan, mereka akan bersikap tidak jujur, tanpa khawatir
hal ini akan merusak pertemanan, dan berkata, seperti, “kau orang yang
sangat baik,” atau “kami mencintaimu apa adanya.”
Pertemanan yang didasari kepentingan
diri sendiri: orang yang hidup mengikuti
kepentingan diri sendiri banyak mengalami fluktuasi psikologis selama masa
hidupnya. Ia mungkin akan memudarkan keatraktifannya, jiwa mudanya,
kesehatannya, dan kekayaannya. Ia melihat bahwa orang-orang yang pernah
dibayangkan menjadi temannya ternyata tidak begitu memberikan arti ketika ia
mulai lemah dan menua. Mereka, yang semula begitu dekat dan janji saling setia
di saat-saat senang, menjadi begitu jauh sehingga tidak ingin lagi saling
bicara atau bahkan mengenal satu sama lain. Mereka menganggap tidak ada lagi
yang perlu dibagi, yang harus memberi nasihat, yang dapat dijadikan tempat
untuk meminta pertolongan atau menaruh kepercayaan. Ia baru menyadari bahwa
mereka yang ia anggap sebagai teman terdekat saya, ternyata meletakkan
kepentingan pribadi di atas kepentingan pertemanan mereka.
Pertemanan yang dikuasai oleh
kegelisahan: mustahil bagi orang yang tidak
hidup di atas nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân dapat merasakan cinta
sejati, hormat atau percaya terhadap sesama–yang di saat bersamaan–merisaukan
kekurangan atau kelemahan moral masing-masing. Mustahil dapat benar-benar
mencintai dan menghormati seseorang apabila ia mengetahui bahwa mereka itu
berbohong dan munafik, memanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka sendiri.
Seseorang akan sadar bahwa meskipun ia berkata dialah teman terdekat mereka, ia
sebenarnya bersikap dengan cara yang sama terhadapnya juga.
“Dan (ingatlah) hari ketika orang
yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “wahai kiranya dulu aku
mengambil jalan bersama-sama Rasul! Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku
(dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah
menyesatkan aku dari al-Qur’ân setelah al-Qur’ân itu datang padaku. Dan adalah
syaitan itu tidak mau menolong manusia.”(QS.
Al-Furqan, (25):27-29)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar