oleh: Kusrin, MZ
Ditengah krisis kepercayaan
yang menimpa para pemimpin kita saat ini, ada baiknya kita merenungkan kembali
pesan-pesan moral seperti penggalan dua kisah di bawah ini. Pertama terungkap
dalam pidato Sayyida Abu Bakar Shiddiq ketika dilantik menjadi khalifah. Kedua
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat fenomenal. Dua kisah ini
relevansinya sangat butuh saat ini.
Pertama, Sayyida Abu Bakar
menyampaikan dalam pidato pelantikannya ”Wahai
sekalian manusia, kamu telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk
memimpinmu. Aku bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka apabila aku berlaku
baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku. Tapi bila aku bertindak salah,
betulkanlah aku. Berlaku jujur adalah amanah, dan berlaku bohong adalah
khianat. Siapa saja yang lemah diatara kamu akan kuat bagiku sampai aku dapat
mengembalikan hak-haknya, In Sya Allah. Siapa saja yang kuat di antara kamu,
akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang
dipegangnya, In Sya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
ada kewajibanmu untuk taat kepdaku”.
Ini
pesan utama Abu Bakar Shiddiq kepada rakyatnya yang disampaikan pada saat
pelantikan menjadi khalifah. Pesan moral yang sangat menonjol seperti terungkap
dalam pidato di atas, antara lain, adalah sikapnya yang sangat tawadhu, jauh
dari sifat-sifat hegemonik seperti yang banyak menjangkiti sebagian para
pemimpin zaman sekarang.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz. Siapa yang tidak
kenal Umar bin Abdul Aziz. Insan dengan sejarah menawan akan masa
kepemimpinannya saat menjabat sebagai khalifah. Ia membalikkan 180 derajat
keadaan hidupnya dari yang bermewah harta menjadi penuh dengan keterbatasan
ketika dirinya diangkat sebagai khalifah. Ia juga yang dikenal sebagai khalifah
yang mampu mengembalikan kesejahteraan umat Islam, hingga hampir saja pembagian
zakat tak menemui si penerima karena kesejahteraan tiap muslim di kala itu. Ia
juga yang menjadi penyelamat wajah Daulah Umayah di mana para raja berkuasa
semena-mena dan perpecahan terjadi di mana-mana.
Tawadhu sendiri berasal dari wada’a
yang berarti ‘merendahkan’. Tawadhu;
merupakan perangai merendahkan kelebihan, menundukkan hati agar tidak
menunjukkan ia lebih baik dari pada orang lain. Tawadhu berarti lawannya
adalah riya, sombong dan ujub. Walau Sayyidina Abu Bakar Shiddiq merupakan
salah seorang shahabat utama Rasulullah SAW dan sudah dijamin masuk syurga, namun
dalam pidatonya, Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik. Abu
Bakar sadar bahwa sebagai seorang hamba dan makhluk ciptaan Allah, dia tidak
sunyi dari memiliki kelemahan dan khilaf yang menjadi sifat utama makhluk Allah
di bumi ini.
Karena
itu untuk memimpin sekelompok umat, Abu Bakar perlu mempunyai teman yang mampu
memberikan nasehat, mencetuskan ide-ide bernas, bahkan membuka hati dan minta
untuk tetap memberikan teguran serta kritikan atas kinerja yang dicapainya.
Andai saja sifat-sifat riya, sombong dan ujub yang menjadi pakaiannya, mana
mungkin dia mau menerima ide atau
pemikiran dan masukan dari orang-orang yang dipimpinnya. Apalagi untuk menerima
teguran dan kritikan.
Begitu juga dengan
Umar bin Abdul Aziz, tentu akan ada banyak karakteristik seorang mukmin yang
bersemayam dalam diri Umar bin Abdul Aziz hingga dirinya ditaati sebagai
pemimpin dan namanya tertera dalam daftar sejarah kebanggaan umat muslim.
Termasuk salah satu di antaranya adalah sifat tawadhu’ beliau.
Jika
sifat riya, sombong dan ujub dikekalkan, maka di antara akibat yang akan muncul
adalah si pemimpin akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri. Rakyat akan di
jadikan hamba abdi. Pemimpin seperti ini akan gila kekuasaan dan senantiasa
minta disanjung dan dipuji. Lebih celaka lagi, rakyat akan dipimpin untuk
memasuki ruang kehidupan melalui jalan-jalan maksiat sekaligus memprioritaskan
program-program pembangunan yang memiliki muatan kemaksiatan. Karena itu tidak
heran jika Allah dan Rasul-Nya mengisyaratkan bahwa sifat riya, sombong dan
ujub merupakan penyebab utama lahirnya berbagai krisis dan persoalan bangsa,
potensi yang membuat manusia terjerumus ke dalam kearogansiannya.
Tidak
hina seorang pemimpin memiliki sifat tawadhu. Karena di situlah kasih sayang
Allah bagi orang-orang yang senantiasa merendah hati, menundukkan sikap
dihadapan manusia lainnya. Setiap manusia memiliki peluang untuk berlaku riya,
sombong, dan ujub, terutama jika ada keinginan untuk memelihara dan
memanfaatkannya demi kepentingan kekuasaan. Kesombongan juga dapat mengubah
ketulusan menjadi nafsu tidak baik yang menempatkan rakyatnya sebagai sasaran
pelampiasan nafsu kekuasaan.
Karena
itu perlu disadari khususnya oleh pemimpin zaman ini, walau dirinya memimpin
sebuah bangsa, hatinya tetap ingat bahwa dirinya adalah juga seorang hamba.
Seorang hamba yang berwatak hamba, tuannya akan sayang kepadanya. Tetapi jika
tuan berwatak hamba, Allah-lah yang akan sayang kepadanya, tiada satupun yang
akan mampu menggugat dan menggusarkan dirinya.
Begitulah para pemimpin umat Islam
terdahulu mengajarkan keteladanan pada kita. Umar bin Abdul Aziz memberikan
gambaran keindahan tawadhu’, ketika seseorang menurunkan egonya untuk
menyamakan dirinya di hadapan manusia dan merendahkan dirinya di hadapan Allah
Azza wa Jala, maka ia dapatkan kemuliaan dirinya, penghargaan di hadapan
manusia, dan ketinggian derajat diberikan oleh Allah.
Inilah
di antara pesan moral yang masih sangat relevan dengan kehidupan bangsa kita
hari ini. Para pemimpin yang baru saja terpilih, para pembawa amanah, adalah
hamba-hamba Allah yang sejatinya hanya mengabdi kepada-Nya. Rakyat berharap
banyak kepada pemimpinya untuk tetap santun dan merendah ketika bertemu
dengannya. Pemimpin yang peduli dan tanggap dengan kondisi rakyat. Pemimpin
yang tidak tuli dari kritikan dan masukan rakyatnya. Pemimpin yang mau makan
satu meja dengan rakyatnya. Pemimpin yang siap turun ke bawah melihat
penderitaan rakyatnya. Pemimpin yang pro terhadap program kesejahteraan rakyat,
bukan mengungsikan rakyatnya demi kepentingan pengusaha dan segolongan orang.
Inilah pemimpin yang diharapkan rakyat, pengabdian yang tulus dan tawadhu akan
membuahkan hubungan yang mencintai di antara pemimpin dan rakyatnya.
Pemerintahan yang baik adalah, pemimpin mencintai rakyat dan rakyat mencintai
pemimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar